Lalu, jika punya kolega, anak buah, bahkan atasan yang jago ngeyel dan tukang cari alasan setiap kali diingatkan; apakah masih ada peluang untuk mendorongnya melakukan perbaikan?
Tentu. Jika kita melakukannya dengan dukungan fakta-fakta otentik dan obyektif. Lebih baik lagi jika Anda dokumentasikan. Bukan untuk mencari-cari kesahan. Tapi untuk membantunya mengingat, apa yang telah terjadi. Sehingga dia tahu persis apa yang mesti diperbaikin.
Ada 5 kelompok yang mengikuti sesi simulasi di kelas training siang tadi. Empat team menunjukkan performa yang 'wajar'. Minimal, bisa diterima dalam standar umum. Bahkan ada yang hasilnya istimewa.
Tapi. Ada 1 team yang performanya sangat buruuuk sekali. Buruk dalam ukuran standar apapun. Padahal, kelompok itu beranggotakan 7 orang yang secara individu memiliki kompetensi tinggi. Mereka percaya diri. Dan mereka dominan dalam sesi diskusi di kelas itu.
Lantas, mengapa ketika diberi tugas hasil yang mereka dapatkan sangat buruk? Namanya orang hebat, tentu hebat pula mencari alasan. Sayangnya, tak satu pun alasan yang bisa diterima oleh panel fasilitator. Dan seperti pada umumnya orang percaya diri; mereka ngeyel dengan berbagai execuses.
Lalu saya memberi tugas on the spot, yang hanya bisa diselesaikan dengan satu syarat yang tidak saya beritahukan kepada mereka. Didepan kelas yang disaksikan oleh semua orang; mereka gagal lagi dengan penugasan itu.
Kali ini, kegagalan itu tidak ada hubungannya dengan team lain. Dan semua orang menjadi saksi kelemahan utama yang mereka tidak lagi bisa menyangkalnya. Pada saat itulah akhirnya mereka mengakui kelemahan itu.
Untuk menyadarkan orang, kadang kita harus menunjukkan bukti tak terbantahkan tentang kekurangannya. Sehingga dengan bukti itu, orang tersadarkan bahwa dia punya aspek-aspek tertentu yang harus diperbaiki. Demi dirinya sendiri. Dan orang lain yang terpengaruh oleh perilakunya.
(DEKA – Dadang Kadarusman)
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.